OTONOMI KAMPUS: KOTAK PANDORA BERBALUT KEMANDIRIAN
Oleh: Is Ariyanti*
Empat perguruan tinggi negeri yakni
UI, ITB, UGM, dan IPB telah lebih dulu menjadi pelopor pelaksanaan
otonomi kampus. Sementara Undip akan menyusul pada 2005 nanti.
Dan perlahan, setiap perguruan tinggi negeri di Indonesia mau
tidak mau harus mengikuti kebijakan tersebut.
Otonomi kampus yang dilegitimasi oleh peraturan pemerintah no.
61/1999 ini digulirkan pada masa pemerintahan Habibie. Poin penting
dari peraturan itu adalah bahwa status perguruan tinggi negeri
(PTN) adalah sebagai badan hukum milik negara (BHMN) yang dituntut
untuk memiliki kemandirian. Dan tentu saja, kemandirian di sini
bukan hanya dalam wujud kemandirian dalam menjalankan manajemen,
melainkan kemandirian dari sisi keungan.
Konsekuensi dari pengeluaran peraturan ini , jelas, negara tak
lagi memberi subsidi pendidikan secara penuh kepada setiap perguruan
tinggi negeri. Meski masih berstatus sebagi lembaga nirlaba, perguruan
tinggi negeri diberi kebebasan untuk mencari sumber-sumber pendapatan
legal untuk menutup kekurangan belanja. Dalam hal ini, negara
cuma memberikan sumbangan dalam bentuk blockgrant yakni subsidi
di mana negara hanya memberikan sekian persen dari total pembiayaan
perguruan tinggi.
Pemerintah Habibie kala itu berdalih bahwa kebijakan ini diambil
pemerintah karena kondisi keuangan negara tak memungkinkan untuk
memberikan subsidi penuh kepada perguruan tinggi.. Pendek kata,
negara tengah mengalami sekarat dari sisi finansial.
Terlepas dari itu semua, saat kebijakan itu dikeluarkan empat
tahun lalu, banyak kalangan yang menilai bahwa kebijakan itu adalah
"pesanan" dari IMF (International Monetary Fund), organisasi
penyandang dana Internasional yang didalangi Amerika dan sekutunya.
Alasannya adalah bahwa ketika itu, IMF mengajukan pelbagai persyaratan
bila Indonesia ingin kembali mendapatkan kucuran pinjaman luar
negeri. Salah satunya adalah pemotongan subsidi-subsidi untuk
masalah-masalah sosial.
Indonesia menerima butir-butir persyaratan itu tanpa reserve.
Dan celakanya, pemerintah memasukkan bidang pendidikan ke dalam
kategori masalah sosial. Maka, ipso facto, pendidikan terkena
imbas dari pemenuhan persyaratan itu.
Bagi tiap perguruan tinggi negeri, otonomi kampus merupakan persoalan
yang serius. Serius, karena hal itu menyangkut keberlangsungan
proses pendidikan di masa yang akan datang. Bila kebijakan ini
diterapkan, setidaknya ada perubahan penting dalam tiga hal, yakni
bidang akademik, keuangan, dan organisasi dari perguruan tinggi.
Seperti halnya fenomena otonomi daerah yang pada kenyataannya
ditafsirkan sebagai automoney bagi daerah-daerah, maka demikian
halnya dengan otonomi kampus. Setiap perguruan tinggi negeri akan
berlomba-lomba untuk mencari alternatif pemasukan pendapatan yang
dapat menutup biaya rumah tangga. Dari sinilah otonomi kampus
ibarat sebuah kotak pandora yang bila dibuka bakal menimbulak
pelbagai macam permasalahan.
Masalah yang pertama yang akan muncul saat kebijakan ini dijalankan
adalah bahwa setiap perguruan tinggi negeri akan menggenjot perolehan
pendapatan dengan memaksimalkan tiga lini pemasukan, yakni apa
yang disebut cost center, surplus center, dan profit center. Cost
center adalah sumber pendapatan yang digali dengan penyelenggaraan
pendidikan reguler semacam S1, sementara surplus center diwujudkan
dengan pembukaan program-program studi S2 dan D3 di masing-masing
fakultas dan pengadaan lembaga-lembaga penelitian. Dan profit
center misalnya pendirian hotel, perkebunan, peternakan, dan usaha-usaha
lainnya yang dimiliki oleh Universitas. Sumber dana lain adalah
bantuan sumbangan donatur. Bantuan hibah para aluni perguruan
tinggidan para donatur yang concern masalah pendidikan adalah
sumur potensial.
Dan praktik konkretnya kini dapat kita lihat. Betapa kini banyak
fakultas yang berlomba-lomba membuka jurusan baru, dalam bentuk
program D III maupun S1, terutama untuk program-program yang marketable.
Selain itu ketergantungan perguruan tinggi terhadap lembaga donor
pun bakal kian kental, sebab, dari para donor inilah investasi
dan proyek berjalan lancar.
Ketika ketergantungan terhadap para lembaga donor ini makin besar,
bisa jadi perguruan tinggi cuma berperan sebagai sapi perah bagi
pemuasan kepentingan para pemberi modal investasi. Pergururan
tinggi hanya akan melakukan sebuah penelitian atas dasar permintaan
mereka. Singkatnya: tak ada investor tak ada penelitian !
Dengan demikian, penelitian yang dilakukan tak lagi berorientasi
untuk pengabdian masyarakat, melainkan tak lebih dari memenuhi
pesanan. Dan bila ini terjadi, hilanglah kemandirian dan independensi
perguruan tinggi.
Namun, tentu saja, lagi-lagi mahasiswa akan menjadi korban ketika
kebijakan ini digulirkan. Perguruan tinggi, tentu saja, akan melihat
mahasiswa, dengan kuantitas yang besar, sebagai alternatif pertama
penggalian dana. Lihat saja, betapa SPP bakal melonjak berkali
lipat dan pungutan-pungutan berbaju sumbangan kian merajalela.
Hal paling konkret adalah ketika Undip mulai tahun 2003 ini membebankan
apa yang disebut Sumbangan Pembangunan Institusi (SPI) kepada
mahasiswa baru sebesar satu juta rupiah kepada mahasiswa S1 (reguler).
Padahal pada tahun-tahun sebelumnya, dalam kamus sejarah S1 reguler,
sumbangan macam itu tidak pernah ada Contoh lainnya adalah pungutan
yang dibebankan ke mahasiswa adalah sumbangan yang berlabel uang
praktikum yang hingga kini belum jelas manajemennya.
Dan alhasil, terjadilah apa yang disebut komersialisasi pendidikan.
Perguruan tinggi negeri tak jauh berbeda dengan perguruan tinggi
swasta yakni sama-sama mahal. Pendidikan tinggi hanya diperuntukkan
bagi mereka-mereka yang memilik uang. Pendidikan kita seolah akan
berkata," Bagi yang sanggup membayar, minggir !!!"
Tak akan ada yang disebut demokratisasi pendidikan, yakni kesempatan
yang sama bagi setiap orang tanpa tanpa terkecuali untuk menikmati
pendidikan. Dengan adanya otonomi kampus ini kita dipaksa untuk
menghapus semua angan-angan tentang pendidikan murah di Indonesia.
Meniru Kuba Kuba dengan pendidikan gratisnya adalah mimpi di siang
bolong.
Ada lagi permasalahan yang menyertai pengguliran konsep otonomi
kampus. Masalah itu yakni adanya ketimpangan dalam pembahasan
masalah keuangan dan akademik dalam PP No. 61/1999. Di dalam aturan
itu pembahasan lebih banyak dititikberatkan pada masalah finansial,
sementara agenda lain yakni perubahan akademik tak banyak dibicarakan,
padahal saat kebijkana itu digulirkan perubahan di bidang akademis
memiliki porsi yang besar pula.
Barangkali bisa dimaklumi bahwa peraturan itu mengandung kelemahan
yang cukup signifikan. Penyebabnya adalah ada unsur ketergesaan
dalam pengesahan undang-undang tersebut. Namun lepas dari itu
semua, ada sejumlah asumsi yang menilai bahwa kebijakan tersebut
adalah cermin betapa negara cuma menginginkan kemandirian pertuguruan
tinggi negeri dalam hal pendanaan semata, sementara untuk independensi
di bidang lain tidak.
Asumsi ini didasarkan pada salah eksponen penting dari pelaksanaan
kebijakan otonomi kampus yaitu Majlis Wali Amanat (MWA).
* Penulis adalah mahasiswa D III Inggris smt VI Fakultas Sastra
Undip. Ketua Umum HMI Komisariat Sastra Undip
Back
Home