Aspek
Motorisasi dalam Lanskap Kota
Hendra
Wibawa*
Belum lama ini saat mewawancarai Saratri Wilonoyudho, saya mendapati
jawaban yang tak memuaskan. Pertanyaannya saat itu, seberapa akutkah
problem tata ruang kota di Semarang? Saratri Wilonoyudho --yang
dosen Planologi Universitas Negeri Semarang-- menjawab, tata kota
Semarang sudah terlanjur rusak dan amburadul. Kawasan Semarang
Atas, yang bertipologi perbukitan dengan pohon-pohonnya yang nyaris
punah, kini "ditanami" perumahan-perumahan baru. Jalan-jalan
protokol diperlebar hanya untuk melayani kalangan bermobil dan
bermotor. Dan, masih banyak lagi penyimpangan-penyimpangan lain,
--yang menurut istilah Saratri terlanjur liar. Barangkali, jawaban
padat nan lugas itu terkesan emosional. Tapi dalam realitasnya
di lapangan jawaban itu ada benarnya. Namun bagi saya jawaban
itu amat tak memuaskan. Jawaban yang blakblakan itu, seperti mengindikasikan
tak becusnya pemerintah kota Semarang membangun kotanya.
Namun tulisan kali ini tak hendak mengurai apa yang mesti dikerjakan
oleh pemerintah kota Semarang, terkait pelbagai kritik dan kecaman
itu. Tulisan ini hanya akan mengaji variabel penyimpangan-penyimpangan
lanskap kota Semarang, untuk selanjutnya coba dicarikan solusinya.
Harapannya sederhana saja, agar penataan kota terlihat lebih nyaman,
agar hasil-hasil pengelolaan kota tak mengasingkan warga kotanya,
dan agar decition maker sadar bila terjadi penyimpangan dan lantas
memperbaikinya. Tentunya, semua itu akan menghasilkan kota yang
tak lagi mengambil jarak dan menyingkirkan penghuninya.
Kita coba memulai dari dalam tata ruang (lanskap) kota Semarang.
Bila kita mau jujur, pelbagai bangunan publik yang bercokol di
kota Semarang, mengindikasikan sebuah bangunan yang angkuh sekaligus
mengasingkan. Bangunan semacam balaikota di Jalan Pemuda yang
mestinya terbuka bagi warga kota Semarang, paska-kebakaran disulap
tertutup, dengan tambahan pengamanan sewaan yang ekstra ketat.
Wisma Perdamaian di Jalan Imam Bonjol, yang direnovasi dengan
dana APBD, dipagar tinggi dengan pengamanan yang tak jauh berbeda.
Sebetulnya, tindakan itu sah-sah saja sebatas diterapkan dalam
wilayah private domain, semisal lingkup bangunan kantor walikota.
Namun dengan pemagaran dan pengamanan yang berlebihan di wilayah
public domain, membenarkan indikasi bahwa pemerintah kota kian
membatasi ruang gerak warga kotanya. Apalagi regulasi yang diterapkan
dalam sistem pengamanan itu hanya memberi ruang gerak bagi kalangan
yang "berkepentingan" saja. Bisa dibayangkan bagaimana
jadinya bila balaikota hanya diperuntukkan bagi mereka, sementara
yang tak "berkepentingan" harus menyingkir. Maka, dapat
dikatakan tengah terjadi proses privatisasi di wilayah publik.
Aspek Motorisasi dalam lanskap kota, bisa dijadikan contoh lain
diskriminasi kota atas sepeda. Hampir semua pemakai ruas jalan
di dalam kota didominasi oleh kendaraan bermotor. Terjadi dominasi
motor atas sepeda. Buktinya, hanya beberapa saja ruas jalan di
Semarang yang menyediakan jalur khusus untuk pemakai sepeda dan
pejalan kaki. Ruas jalan di dalam kota yang umumnya lebar, didesain
sedemikian rupa hingga tak memperhitungkan kehidupan warga kota
yang beraktivitas menggunakan sepeda. Celakanya desain yang artifisial
ini menjadi patakon baku bagi kota-kota yang berorientasi moderenitas.
Tak peduli patokan baku ini akhirnya mendiskriminasikan pemakai
sepeda yang jumlahnya kian menyusut.
Diskriminasi yang lain, terdapat dalam sistem perparkiran kota
Semarang. Lahan parkir yang ada, lebih diperuntukkan bagi mobil
dan motor dengan tempat yang eksklusif, dengan tanda-tanda yang
teratur. Sementara parkir untuk sepeda kadang letaknya dibelakang,
yang jauh dan tersembunyi. Kota menjadi wilayah "zona pamer"
bagi kendaraan bermotor saja. Penolakan-penolakan yang bersifat
masif itu pada akhirnya menyingkirkan pemakai sepeda ke luar wilayah
"zona pamer" di dalam kota. Diskriminasi ini serta merta
mengakibatkan kian terasingnya pemakai sepeda di dalam kota. Akhirnya
aktivitas bersepeda hanya dilakukan secara terbatas di luar "zona
pamer", yang umumnya digunakan kaum urban di pinggiran kota.
Fenomena yang terjadi di Jalan Kaligawe dan Majapahit tiap pagi
dan sore hari, dapat menjadi contoh nyata. Sementara mereka yang
tetap di wilayah kota, akhirnya memilih mobil atau motor sebagai
aktivitas hariannya. Sebab dengan bermobil dan bermotor mereka
seperti akan mendapat garansi dan pelayanan yang memuaskan dari
kota.
Dalam jangka pendek maupun jangka pangjang tata ruang kota --khususnya
Semarang bagian bawah-- yang berorientasi pada motorisasi, akan
tetap merugikan. Disamping membebani anggaran rutin pemerintah
kota, juga menjadikan kota tidak nyaman bagi warganya. Dengan
motorisasi, lingkungan kota akan mendapatkan beban emisi gas buang
kendaraan yang dari tahun ke tahun kian meningikat. Padahal asap
kendaraan bermotor menduduki peringkat teratas pencemar kota-kota
besar di Indonesia.
Bila dicermati konsep lanskap kota Semarang, mengambil model tata
ruang yang seragam. Meminjam istilah Foucoult (1979), sistem kuasa
telah mendominasi pelbagai sudut bangunan luar ruang kota. Foucoult
menganggap arsitektur moderen berambisi untuk mengurung, menormalisasi,
dan menyingkirkan segala sesuatu yang dianggap anomali. Segala
yang dianggap menyimpang dan membangkang secara sosial maupun
psikologis, lambat namun pasti akan tersingkirkan atau disingkirkan.
Hingga yang akan terbangun adalah sebuah tatanan masyarakat neo-moderen
yang rapi, teratur, tertib, serta rancak. Konsekuensinya, kota
yang serba-teratur harus steril dari sesuatu yang merusak pemandangan,
termasuk pemakai sepeda di kota.
Sebenarnya, secara geografis Semarang bagian bawah amat kondusif
bagi pemakai sepeda. Selain jalan-jalan protokol di dalam kota
yang jarang macet, jalan itu berjarak tempuh relatif pendek. Apalagi
di beberapa ruas jalan, misalnya di Kampung Kali, terdapat banyak
tumbuhan peneduh yang nyaman bagi pemakai sepeda.
Nah, sudah sepatutnya pemerintah kota Semarang merenkontruksi
ulang pemahamannya tentang tata ruang kota. Revitalisasi mesti
dilakukan pada tata ruang kota yang berorientasi lebih peduli
pada warga kota. Hingga warga kota tak merasa asing atau terasingkan
oleh kotanya sendiri. Harapannya, agar kota Semarang bisa lebih
bersahabat dan nyaman untuk dihuni. Semoga saja harapan ini tidak
sekadar menjelma menjadi ilusi.***
Hendra Wibawa, Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Diponegoro,
Semarang
Back
Home