e-mail: hawepos_online@yahoo.com
 
WACANA MAHASISWA
Aspek Motorisasi dalam Lanskap Kota
Otonomi kampus: kotak pandora berlabel kemandirian  
 
 
 
 
 
 
 
  Sunday, 13-Jul-2003
Wacana Mahasiswa
 


Aspek Motorisasi dalam Lanskap Kota

Click here t enargeHendra Wibawa*

Belum lama ini saat mewawancarai Saratri Wilonoyudho, saya mendapati jawaban yang tak memuaskan. Pertanyaannya saat itu, seberapa akutkah problem tata ruang kota di Semarang? Saratri Wilonoyudho --yang dosen Planologi Universitas Negeri Semarang-- menjawab, tata kota Semarang sudah terlanjur rusak dan amburadul. Kawasan Semarang Atas, yang bertipologi perbukitan dengan pohon-pohonnya yang nyaris punah, kini "ditanami" perumahan-perumahan baru. Jalan-jalan protokol diperlebar hanya untuk melayani kalangan bermobil dan bermotor. Dan, masih banyak lagi penyimpangan-penyimpangan lain, --yang menurut istilah Saratri terlanjur liar. Barangkali, jawaban padat nan lugas itu terkesan emosional. Tapi dalam realitasnya di lapangan jawaban itu ada benarnya. Namun bagi saya jawaban itu amat tak memuaskan. Jawaban yang blakblakan itu, seperti mengindikasikan tak becusnya pemerintah kota Semarang membangun kotanya.

Namun tulisan kali ini tak hendak mengurai apa yang mesti dikerjakan oleh pemerintah kota Semarang, terkait pelbagai kritik dan kecaman itu. Tulisan ini hanya akan mengaji variabel penyimpangan-penyimpangan lanskap kota Semarang, untuk selanjutnya coba dicarikan solusinya. Harapannya sederhana saja, agar penataan kota terlihat lebih nyaman, agar hasil-hasil pengelolaan kota tak mengasingkan warga kotanya, dan agar decition maker sadar bila terjadi penyimpangan dan lantas memperbaikinya. Tentunya, semua itu akan menghasilkan kota yang tak lagi mengambil jarak dan menyingkirkan penghuninya.

Kita coba memulai dari dalam tata ruang (lanskap) kota Semarang. Bila kita mau jujur, pelbagai bangunan publik yang bercokol di kota Semarang, mengindikasikan sebuah bangunan yang angkuh sekaligus mengasingkan. Bangunan semacam balaikota di Jalan Pemuda yang mestinya terbuka bagi warga kota Semarang, paska-kebakaran disulap tertutup, dengan tambahan pengamanan sewaan yang ekstra ketat. Wisma Perdamaian di Jalan Imam Bonjol, yang direnovasi dengan dana APBD, dipagar tinggi dengan pengamanan yang tak jauh berbeda.

Sebetulnya, tindakan itu sah-sah saja sebatas diterapkan dalam wilayah private domain, semisal lingkup bangunan kantor walikota. Namun dengan pemagaran dan pengamanan yang berlebihan di wilayah public domain, membenarkan indikasi bahwa pemerintah kota kian membatasi ruang gerak warga kotanya. Apalagi regulasi yang diterapkan dalam sistem pengamanan itu hanya memberi ruang gerak bagi kalangan yang "berkepentingan" saja. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya bila balaikota hanya diperuntukkan bagi mereka, sementara yang tak "berkepentingan" harus menyingkir. Maka, dapat dikatakan tengah terjadi proses privatisasi di wilayah publik.

Aspek Motorisasi dalam lanskap kota, bisa dijadikan contoh lain diskriminasi kota atas sepeda. Hampir semua pemakai ruas jalan di dalam kota didominasi oleh kendaraan bermotor. Terjadi dominasi motor atas sepeda. Buktinya, hanya beberapa saja ruas jalan di Semarang yang menyediakan jalur khusus untuk pemakai sepeda dan pejalan kaki. Ruas jalan di dalam kota yang umumnya lebar, didesain sedemikian rupa hingga tak memperhitungkan kehidupan warga kota yang beraktivitas menggunakan sepeda. Celakanya desain yang artifisial ini menjadi patakon baku bagi kota-kota yang berorientasi moderenitas. Tak peduli patokan baku ini akhirnya mendiskriminasikan pemakai sepeda yang jumlahnya kian menyusut.

Diskriminasi yang lain, terdapat dalam sistem perparkiran kota Semarang. Lahan parkir yang ada, lebih diperuntukkan bagi mobil dan motor dengan tempat yang eksklusif, dengan tanda-tanda yang teratur. Sementara parkir untuk sepeda kadang letaknya dibelakang, yang jauh dan tersembunyi. Kota menjadi wilayah "zona pamer" bagi kendaraan bermotor saja. Penolakan-penolakan yang bersifat masif itu pada akhirnya menyingkirkan pemakai sepeda ke luar wilayah "zona pamer" di dalam kota. Diskriminasi ini serta merta mengakibatkan kian terasingnya pemakai sepeda di dalam kota. Akhirnya aktivitas bersepeda hanya dilakukan secara terbatas di luar "zona pamer", yang umumnya digunakan kaum urban di pinggiran kota. Fenomena yang terjadi di Jalan Kaligawe dan Majapahit tiap pagi dan sore hari, dapat menjadi contoh nyata. Sementara mereka yang tetap di wilayah kota, akhirnya memilih mobil atau motor sebagai aktivitas hariannya. Sebab dengan bermobil dan bermotor mereka seperti akan mendapat garansi dan pelayanan yang memuaskan dari kota.

Dalam jangka pendek maupun jangka pangjang tata ruang kota --khususnya Semarang bagian bawah-- yang berorientasi pada motorisasi, akan tetap merugikan. Disamping membebani anggaran rutin pemerintah kota, juga menjadikan kota tidak nyaman bagi warganya. Dengan motorisasi, lingkungan kota akan mendapatkan beban emisi gas buang kendaraan yang dari tahun ke tahun kian meningikat. Padahal asap kendaraan bermotor menduduki peringkat teratas pencemar kota-kota besar di Indonesia.

Bila dicermati konsep lanskap kota Semarang, mengambil model tata ruang yang seragam. Meminjam istilah Foucoult (1979), sistem kuasa telah mendominasi pelbagai sudut bangunan luar ruang kota. Foucoult menganggap arsitektur moderen berambisi untuk mengurung, menormalisasi, dan menyingkirkan segala sesuatu yang dianggap anomali. Segala yang dianggap menyimpang dan membangkang secara sosial maupun psikologis, lambat namun pasti akan tersingkirkan atau disingkirkan. Hingga yang akan terbangun adalah sebuah tatanan masyarakat neo-moderen yang rapi, teratur, tertib, serta rancak. Konsekuensinya, kota yang serba-teratur harus steril dari sesuatu yang merusak pemandangan, termasuk pemakai sepeda di kota.

Sebenarnya, secara geografis Semarang bagian bawah amat kondusif bagi pemakai sepeda. Selain jalan-jalan protokol di dalam kota yang jarang macet, jalan itu berjarak tempuh relatif pendek. Apalagi di beberapa ruas jalan, misalnya di Kampung Kali, terdapat banyak tumbuhan peneduh yang nyaman bagi pemakai sepeda.
Nah, sudah sepatutnya pemerintah kota Semarang merenkontruksi ulang pemahamannya tentang tata ruang kota. Revitalisasi mesti dilakukan pada tata ruang kota yang berorientasi lebih peduli pada warga kota. Hingga warga kota tak merasa asing atau terasingkan oleh kotanya sendiri. Harapannya, agar kota Semarang bisa lebih bersahabat dan nyaman untuk dihuni. Semoga saja harapan ini tidak sekadar menjelma menjadi ilusi.***


Hendra Wibawa, Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang

Back Home

 
 
Komentar, kritik, saran, atau masukan dari anda tentang tulisan di atas dapat anda samapaikan dan tuliskan langsung di sini dan hasilnya juga langsung dapat anda lihat!

[ Tulis Komentar] [ Lihat Komentar]