e-mail: hawepos_online@yahoo.com
 
RUANG SASTRA
Biografi Guy de Maupa..
SenyumanSchopenhauer
 
 
 
 
 
 
 
  Thursday, 03-Jul-2003  
 


Senyuman Schopenhauer

Guy de Maupassant

Lelaki itu sedang menjelang saat kematiannya. Penyakit paru - paru telah menggerogoti tubuhnya Setiap jam dua siang, aku biasanya melihatnya di bawah jendela hotel sedang memandang ke arah laut yang tenang. Selama beberapa saat dia tampak diam tak bergerak, menikmati kehangatan sinar matahari dan menatap penuh kesedihan ke lautan Mediterania yang membentang luas. Kadang-kadang dia akan menoleh ke arah puncak gunung yang terhampar di belakang. Kemudian dengan gerakan sangat lambat dia akan menyilangkan kakinya, sepasang kaki yang sangat kurus, sehingga nampak bagai dua potong tulang yang dibalut oleh celana kedodoran. Setelah itu dia akan membuka sebuah buku, selalu buku yang sama. Dia akan melanjutkan duduk di situ, hampir tanpa bergerak, membaca dengan sangat tekun, sehingga mata dan pikirannya seperti terpaku pada buku itu. Sekujur tubuhnya yang ringkih tampak seperti sedang membaca. Jiwanya seakan-akan terkubur di dalam buku itu. Dia akan benar - benar terserap ke dalam buku itu sampai udara menjadi makin dingin dan membuatnya terbatuk-batuk kecil. Ketika hal ini terjadi, ia akan bangkit dan masuk dalam hotel.

Dia adalah seorang Jerman yang bertubuh tinggi dengan janggut pirang memenuhi dagunya. Biasanya dia makan dalam kamarnya dan tak pernah bercakap-cakap dengan siapapun. Aku tertarik padanya karena semacam rasa ingin tahu yang aneh dan pada suatu hari ketika ia sedang membaca, aku duduk di sebelahnya, membaca sebuah buku yang berisi puisi-puisi Musset.

Ia tiba - tiba bertanya dalam bahasa Inggris yang sangat baik, "Apakah Anda bisa berbahasa Jerman, Tuan?"

Aku berkata padanya bahwa aku tak mengerti satu patah kata pun dalam bahasa itu. "Oh, sayang sekali," katanya. "Sejak kita jumpa, saya ingin meminjami dan menunjukkan kepada Anda sebuah harta karun -buku yang saya pegang ini."

"Buku apa itu?"

"Ini adalah salinan karya guru saya Schopenhauer, dengan catatan yang dibuat dengan tulisan tangannya. Anda dapat melihat bahwa dia mengisi seluruh pinggiran halaman buku ini dengan catatannya."

Aku mengambil buku itu dan melihat pada deretan kalimat yang mungkin tak dapat kumengerti satu kata pun. Aku mencoba membayangkan bahwa kata-kata itu menunjukkan pikiran-pikiran abadi seorang penghancur mimpi terbesar yang pernah hidup di muka bumi.

Aku tiba - tiba teringat sebuah kalimat dari puisi Musset:

Apakah kau tidur dalam damai, Voltaire, dan apakah senyummu masih melayang - layang mengitari tulang belulangmu?

Aku tak dapat membandingkan pikiran-pikiran kekanak-kananakan Voltaire dengan ironi Schopenhauer, filsuf Jerman yang pengaruhnya tak pernah pupus.

Dia telah dikecewakan oleh rasa percaya, harapan, dan khayalan. Dia telah menghancurkan keinginan, membunuh rasa percaya diri, memusnahkan cinta, menghancur-leburkan pemujaan terhadap wanita, membakar ilusi-ilusi kemanusiaan, membangun tonggak-tonggak keraguan bahwa dunia tak pernah bisa dikenali. Olok - oloknya telah merambah segala hal dan mengosongkan semuanya dari makna.

"Jadi Anda mengenal Schopenhauer secara pribadi?" tanyaku pada orang Jerman itu.

Dia tersenyum sedih dan menjawab, "Sampai saat dia wafat."

Dan dia mulai bercerita padaku tentang filsuf itu, menyebutkan kesan supranatural yang aneh yang dirasakan setiap orang yang bertemu dengannya.

Dia bercerita padaku tentang tanya jawab yang dilakukan sang penentang pemujaan patung berhala itu dengan seorang politisi Perancis, seorang pendukung republik yang ingin menjumpainya dan menemukan dia sedang duduk di anatara murid-muridnya bercerita tentang ide-ide dan ajaran-ajarannya. Ia menatap datar dan menyunggingkan senyumnya yang khas.

Beberapa saat kemudian orang Perancis berteriak dan berlalu, menjadi panik dan ketakutan, "Aku telah menghabiskan waktu sejam dengan seorang iblis!"

Orang Jerman itu menambahkan, "Anda tahu, Tuan? Dia sungguh-sungguh memiliki seulas senyum yang mengerikan yang membuat kami takut, bahkan setelah dia meninggal pun. Ada sebuah kisah nyata tentang hal ini yng pernah didengar oleh beberapa orang dan saya akan menceritakannya kepada Anda."

Dan dengan suara letih dia mulai bercerita diselingi oleh suara batuknya yang keras.

***

Schopenhauer baru saja meninggal dan kami memutuskan untuk menjaga mayatnya hingga esok pagi. Ia terbaring di atas sebuah ranjang yang besar. Dua batang lilin dinyalakan di atas meja di samping tempat tidurnya.

Pada tengah malam, saya dan seorang teman tiba untuk menjaga mayat itu. Kedua orang teman yang kami gantikan telah pergi dan kami duduk di kaki ranjang.

Ekspresi wajah mayat itu datar tetapi dia masih tetap tersenyum. Seakan-akan dia masih hidup. Sudut-sudut bibirnya membentuk lekukan yang kami kenal baik dan kami hampir mengira dia akan membuka matanya, bergerak dan berbicara. Pikiran-pikirannya terasa melingkupi kami, lebih dari yang pernah kami rasakan. Kini setelah dia mati, kekuatan spiritualnya lebih mencengkeram kami daripada sebebelumnya. Kekuatan pikirannya yang dahsyat terasa misterius.

Tubuh manusia bisa musnah tetapi jiwanya tidak. Dan saya yakin, Tuan, selama malam pertama setelah jantung mereka berhenti berdetak mereka menjadi sangat menakutkan. Dengan suara lirih kami mulai bercakap-cakap, mengingat-ingat kata-katanya, kebijaksanaan-kebijaksanaannya, yang terasa bagaikan cahaya yang menerangi kegelapan.

"Aku merasa bahwa dia akan berbicara," kata teman saya. Kami memandang gelisah pada wajahnya yang diam dan bibirnya tampak masih menyunggingkan seulas senyum aneh.

Kami merasa tidak enak. Suasana terasa mencekam dan kami merasa akan pingsan.

"Aku tak tahu apa yang terjadi denganku," saya bilang, "tapi aku merasa tidak sehat."

Kami mencium bau tidak sedap meruap dari mayat itu. Teman saya berkata bahwa kami sebaiknya pergi ke ruang sebelah dan saya setuju.

Saya membawa sebuah lilin dari samping tempat tidur dan kemudian pergi. Saya duduk cukup jauh di ruang lain. Di tempat kami berada, kami dapat melihat ranjang dan mayat yang terbujur di atasnya dengan jelas diterangi cahaya lilin.

Tapi roh Schopenhauer masih menghantu kami. Kami merasa jiwanya kini telah terbebaskan dari tubuhnya dan segenap kekuatannya menyelubungi kami.

Tiba-tiba, kami mengalami suatu kengerian. Sebuah suara misterius terdengar dari ruangan di mana mayat itu terbaring. Kami memandang ke arah suara itu berasal dan kami melihatnya, Tuan. Kami berdua melihat dengan jelas sebuah benda berwarna putih bergerak melintasi tempat tidur jatuh di atas karpet dan menghilang di bawah sebuah kursi.

Kami melompat tanpa sempat berpikir, dihantui perasaan ngeri, siap untuk berlari ketakutan. Kami saling berpandangan. Wajah kami begitu pucat dan jantung kami berdetak sangat cepat seakan-akan kami dapat melihatnya berdegup tepat di bawah pakaian kami. Saya yang pertama berkata-kata.

"Apakah kamu melihatnya?"

"Ya, aku melihatnya."

"Apakah menurutmu ia masih hidup?"

"Bagaimana mungkin? Tubuhnya sudah membeku."

"Apa yang harus kita lakukan?"

Temanku menjawab dengan agak ragu-ragu, "Kita harus memeriksanya."

Saya membawa lilin dan berjalan mendahuluinya, melihat berputar pada ruang tidur dan tak ada sesuatu pun yang tampak bergerak. Saya menuju ranjang kemudian berhenti, dicekam oleh rasa heran dan ngeri. Schopenhauer tidak lagi tersenyum. Wajahnya berubah menjadi mengerikan dengan bibir menyeringai dan pipinya tampak menjadi cekung.

Saya berkata gugup, "Dia tidak mati!"

Saya merasa sesak dan berdiri di sana menatap padanya dengan begitu takut seolah-olah sedang melihat hantu.

Teman saya mengambil lilin yang lain dan tanpa berkata apapun dia menyentuh tangan saya. Saya mengikuti pandangan matanya. Di bawah kursi dekat ranjang, sesuatu berwarna putih terletak di atas karpet berwarna gelap.

Ternyata benda misterius itu adalah gigi palsu Schopenhauer yang terletak menganga seakan-akan siap menerkam! Rupanya proses penyusutan telah melonggarkan gusinya menyebabkan gigi palsu itu melompat keluar dari mulutnya.

Pengalaman malam itu sungguh menakutkan, Tuan …

***

Dan sekarang matahari telah condong ke barat, hampir menyentuh permukaan laut. Orang Jerman yang berpenyakit paru-paru itu bangkit dari duduknya, memberi salam sekilas padaku lalu masuk ke dalam hotel.***

(Diambil dari Anton Kurnia (ed.), Sungai Air Mata: Antologi Cerpen dari 5 Benua (Yogyakarta: Gelaran Budaya, Maret 2001)


Back Home

 
 
Komentar, kritik, saran, atau masukan dari anda tentang tulisan di atas dapat anda samapaikan dan tuliskan langsung di sini dan hasilnya juga langsung dapat anda lihat!
Komentar Here