Pada Seruling Ia Bergantung
Oleh: *Maya Rosana Amalia

Demi tungku dapur tetap mengepul, cello sampai suling ia mainkan.

Suatu siang di pertigaan Jalan Atmodirono, seorang lelaki tua selalu duduk bersila. Wajahnya tirus, matanya cekung. Sembari mematut seruling, ia mainkan tembang-tembang jawa. Dari cicak rowo sampai bengawan solo mengalun syahdu.

Tiap kali seseorang yang memasukkan recehan di kalengnya, ia selalu berucap, “terima kasih, nak. Semoga cepat lulus kuliah.”

Di trotoar seberang masjid Diponegoro itulah Marsam, 73 tahun, menghabiskan hari-hari tuanya. Wajahnya mungkin tak asing lagi bagi mahasiswa yang biasa melalui jalan itu. Ia memang tidak terlalu mangundang perhatian. Jika tidak diperhatikan sungguh, orang sekilas akan menyangkanya gelandangan atau pengemis biasa.

Didampingi sang istri, Marsam berusaha untuk datang ke ‘tempat kerja’-nya setiap hari. Berbekal seruling dari bambu dan kaleng bekas, ia berharap bisa menyambung hidup sekaligus menghibur orang.

Sebenarnya ia juga menguasai pelbagai alat musik lainnya. Dari cello, gitar, sampai gamelan pernah ia mainkan. Dengan cello di tangan, menjadi anggota orkes pun pernah beberapa kali ia jajal. “ Sekitar tahun lima empatan saya ikut orkes keroncong, tapi bubar begitu ada gestapu”, katanya.

Setelah itu Marsam tidak langsung berhenti bermusik. Kelompok wayang orang tempat labuhan selanjutnya. Gamelan pun ia pegang. Tapi itu tak berlangsung lama. “Waktu itu negara tidak aman, gara-gara ribut PKI banyak anggota wayang orang mengungsi ke daerah lain, akhirnya bubar,” kenangnya.

Jika lantas bermain suling itu karena setiap orkes yang ia datangi selalu memberi harapan kosong. Sempat dicobanya membuka usaha membuat bendera, awrung jahe dan membuka panti pijat. Namun semua tak ada yang bertahan lama. Alasannya macam-macam. Salah satunya ialah kejamnya persaingan. “Pernah istri saya diguna-guna orang karena membuka warung wedang jahe,” ingatnya.

Kecintaannya pada musik tidak dapat dilepaskannya begitu saja. Ia lantas memutuskan untuk kembali bermusik. Sebelum mangkal di depan Masjid Diponegoro, ia berkeliling kota sambil menyuling. Dari Pasar Bulu sampai Johar ia datangi. Sementara istrinya mbabu di rumah orang.

Dulu sang istri acapkali menemani. Namun faktor usia dan sakit istrinya membuatnya untuk memutuskan berhenti keliling. Sekarang saat keduanya sama-sama berkepala tujuh, semakin tak terpisahkan. Dimana Marsam berada, disitulah Diyem ada. Meski harus menopang hidup sendirian. Tanpa anak dan sanak saudara yang mengurus.

Berusia lanjut memang tidak selalu mudah. Usia dimana biasanya hidup dapat lebih dinikmati, Tuhan lebih didekati serta menjadi panutan bagi para cucu. Hidup memang keras. Mungkin untuk beberapa insan kerasnya hidup harus dirasakan. Mau tidak mau. Tapi hidup yang keras itu tidak berubah menjadi suatu beban ketika kita dapat menikmatinya. Atau dengan kata lain nrimo ing tetep usaha.

“ ’Cucak rowo! Cucak rowo mbah!’, itu anak-anak suka minta saya nyanyi”.


Menilik kenyataan bahwa Marsam seorang tuna netra, patutlah kita memberi nilai lebih terhadap perjuangan hidupnya selama ini. Ia terpaksa harus menderita kebutaan semenjak umur empat tahun. “Merah, hijau, putih, saya tidak tahu seperti apa sampai sekarang,” ujarnya sambil meringis. Toh itu tidak membuat semangat hidupnya padam. Ia dengan percaya diri terus menekuni bidang yang memang telah membuatnya jatuh cinta; bermusik.

Di rumah petak berukuran 2,6 x 9 meter, ia menghabiskan hidupnya selama enam puluh enam tahun terakhir. “Untunglah kami begini-begini sudah punya rumah sendiri, tidak menggelandang,” ujarnya menceritakan rumahnya di gang Siwalan I.

Rumah yang berbentuk persegi panjang ini hanya terdiri dari tiga bagian. Ruang tamu yang hanya disekat untuk membatasi ke ruang lain. Yang disebut ruang tengah adalah ruang tidur, dapur, dan ruang makan bercampur menjadi satu. Paling belakang adalah tempat mandi dan cuci. Tidak ada pintu pemisah dari ruang tengah. Tidak ada ventilasi udara yang berarti.

Suasana lembab dan gelap di bagian dalam rumah rupanya tidak mengganggu si penghuni. Di ruang tengah dapat dilihat kandang-kandang burung perkutut. Seekor kucing terlihat tidur lelap di atas ranjang.

Hidupnya pas-pasan. Meski begitu kebutuhannya relatif tersedia. Ada televisi, tape compo dan pekaian apik. “Compo ini saya memang ingin beli, jadi harus nabung dulu setiap hari. Biar bisa dengerin musik. Kalau televisi ini saya diberi oleh orang yang lewat.”

Meski hidup sangat pas-pasan tapi ia tak pernah kekurangan makan. “Kadang cuma dapat seribu sehari, tapi ibu sudah biasa nyimpen jadi sampai sekarang tidak pernah kelaparan,” katanya. Penghasilannya memang tidak menentu dari hari ke hari. Apalagi setelah usaha warung kelontongnya tidak laku.

Pernah sekali ia belajar memijat yang lantas menjadi modalnya untuk membuat usaha pijat sendiri. “Tidak berjalan lama karena ada yang tersaingi lantas main dukun, tapi sampai sekarang saya masih menerima panggilan jika ada yang ingin dipijat”, paparnya. Jika ada yang minta di pijat berarti penghasilan tambahan.


Sebenarnya Marsam dan Diyem sangat mendambakan keturunan. Anak-anak atau bahkan cucu-cucu yang dapat mereka kasihi, terlebih di hari tua ini. Rasa harap dan antusias sangat terlihat jelas di wajah mereka. Tapi apa boleh dikata Tuhan menentukan lain.

Memang Diyem masih mempunyai keponakan di kampung halamannya; Wonogiri. Tapi itu pun jarang dikunjungi. Lain halnya dengan Marsam yang sudah kehilangan kontak dengan abangnya semenjak puluhan tahun yang lalu. Dari pernikahannya yang pertama pun ia tak dikaruniai keturunan. Sekarang ia benar-benar hanya mempunyai Diyem seorang.

Mungkin harapannya yang paling realistis sekarang adalah bertemu dengan seseorang yang sudi dianggap anak olehnya. Seseorang yang kepada siapa akan menerima peninggalannya yang tidak seberapa itu.

Marsam sadar bahwa sekarang ia dan istrinya tinggal menghitung hari. Waktunya tinggal sedikit. Tidak banyak lagi yang dapat ia lakukan selain berusaha menyambung hidup. Meniup sulingnya. Pilihannya memang tak banyak, tapi semua ia jalani dengan lapang dada. Tidak ada raut penyesalan atau amarah ketika menceritakan riwayat hidupnya.

Sebagai seseorang yang telah berumur tujuh puluhan, Marsam termasuk yang mempunyai memori baik. Bagaimana tidak, ia menceritakan semua pengalaman hidupnya hampir tanpa jeda. Dari mulai permulaan kebutaannya sampai cerita tentang kedua saudara yang telah pergi. Terekam dengan baik.

Ia juga punya falsafah sendiri ketika topik pembicaraan beralih ke kehidupan ruhaniahnya. “Semua agama itu sama saja. Tuhan hanya satu. Manusia saja ada yang jalan kesana kemari, berbeda-beda jalannya. Tapi intinya sama”.

Ke depan ia telah berencana untuk masuk panti jompo. Tentu saja bersama sang istri tercinta. Entah kapan. Setahun, dua tahun, tiga tahun lagi. Atau mungkin setelah ia tidak sanggup lagi untuk berjalan menuju pertigaan masjid Diponegoro. “Yah…itu nak cerita saya,” ucapnya. “Semoga cepat lulus, nanti kalau masih ada umur bapak ingin tahu.”***